Sekitar tahun 1920-an, orang-orang Kingstone Jamaica hidup dalam keadaan miskin dan melarat, mereka ditindas oleh penjajah kulit putih ini menganggap 'White Imperialisme' .
Kemunculan falsafah yang dikenali sebagai 'Back To Africa' yang dipelopori oleh Marcus Garvey, yang mengajak kaum kulit hitam mengukuhkan kembali kepercayaan mereka terhadap asal-usul nenek moyang mereka. Keyakinan mereka bertambah dan seorang 'Black African' bernama Ras Tafari Makonnen telah ditabalkan sebagai Maharaja Ethiopia dengan gelaran Emperor Haile Selassie 1 dan para pengikutnya menggelarkan beliau Rastafarians dan menganggap mereka salah satu daripada 12 puak Israel dan mempercayai Haile Selassie 1 adalah 'Conquerring Lion of the ribe of Judah'.
Kepercayaan semasa awal kemunculannya amat radikal berbanding sekarang. Rastafarians membenci golongan kulit putih dan melabel budaya mereka sebagai 'Babylon' tidak asli dan tidak ikhlas, tamak dan meterialistik. Kematian Haile Selassie 1 pada tahun 1974 memang tidak disangka oleh Rastafarians, malah ada ynag menuduh kematiannya satu konspirasi media kaum kulit putih. Bagai manapun budaya dan agama ini terus berkembang walaupun maharaja telah tiada. Nama besar yang telah kembangkan Rastafarianisme tahun 1970-an adalah Bob Marley.
Pada mulanya musik golongan Rastafariansme adalah SKA dan berubah ke rocksteady dan reggae. Reggae mengekspresikan mereka, serta memprotes ketidakadilan dan penindasan yang dideritai oleh orang-orang Jamaica.Salah satu aspek Rastafarianisne yang dipandang hina adalah penggunaan ganja sebagai salah satu 'alat utama dalam kehidupan dan upacara keagamaan. Mengenai rambut Dreadlocks ,Rastafarians tidak menggalakkan pengikutnya menyukur, menyikat rambut, atau mengguntingnya seperti dikatakan dalam kitab mereka. Bagi mereka, rambut yang panjang berketul-ketul serta liar tak terurus adalah diibaratkan 'Lion of Judah', satu simbol berbentuk kepala singa yang melambangkan kekuatan Haile Selassie 1.
Beliau dikatakan memiliki cincin kepala singa dan beliau telah menyerahkan kepada Bob Marley sebelum kematiannya. Perkataan 'Dreadlocks' dipopularkan oleh Bob Marley melalui lagu 'Natty Locks'. Dari segi warna merah melambangkan Gereja Triumphant atau gereja Rastafarians dan darah mereka, warna kuning melambangkan kekayaan Ethiopia dan warna hijau melambangkan keindahan dan kesuburan tanaman di Ethiopia.
Marcus Garvey yang mempelopori perjuangan kaum negro secara terorganisir dengan membentuk The Universal Negro Improvement Association yaitu organisasi yang membangun kesadaran baru diantara orang-orang asli Jamaika pada tahun 1914 di Jamaika. Berbeda sekali dengan Bob Marley yang telah menyuarakan kaum tertindas dalam lagu-lagunya tanpa ada usaha untuk membentuk organisasi perlawanan.
Sumbangan terbesar dari Bob Marley adalah mempopulerkan kepercayaan Rastafari keseluruh dunia lewat lagu dan musik yang dimainkan. Seandainya Marcus Garvey tidak membentuk organisasi perlawanan, mungkin budaya rambut rasta tidak akan mendunia seperti sekarang. Budaya yang notabene milik kaum hitam yang sering diidentikkan dengan budaya kaum budak sekarang justru dihargai oleh kaum kulit putih bahkan ditiru habis-habisan, dijual keseluruh dunia sebagai komoditi oleh kaum kapitalis karena mendatangkan keuntungan. Tengok saja dari cara berpakaian, jenis musik yang sering dilantunkan kaum hitam, gaya rambut kaum hitam akhirnya sekarang diadopsi oleh kaum kulit putih yang dahulu merasa yang membuat budaya dunia.
Sejarah gerakan penyadaran identitas kaum kulit hitam, yang kemudian bertemali erat dengan keberadaan musik reggae, mulai disemai pada awal abad ke-20. Adalah Marcus Mosiah Garvey, seorang pendeta dan aktivis kulit hitam Jamaika, yang melontarkan gagasan “Afrika untuk Bangsa Afrika…” dan menyerukan gerakan repatriasi (pemulangan kembali) masyarakat kulit hitam di luar Afrika. Pada tahun 1914, Garvey mendirikan Universal Negro Improvement Association (UNIA), gerakan sosio-religius yang dinilai sebagai gerakan kesadaran identitas baru bagi kaum kulit hitam.
Pada tahun 1916-1922, Garvey meninggalkan Jamaika untuk membangun markas UNIA di Harlem, New York. Konon sampai tahun 1922, UNIA memiliki lebih dari 7 juta orang pengikut. Antara tahun 1928-1930 Garvey kembali ke Jamaika dan terlibat dalam perjuangan politik kaum hitam dan pada tahun 1929 Garvey meramalkan datangnya seorang raja Afrika yang menandai pembebasan ras kulit hitam dari penindasan kaum Babylon (sebutan untuk pemerintah kolonial kulit putih—merujuk pada kisah kitab suci tentang kaum Babylon yang menindas bangsa Israel).
Ketika Ras Tafari Makonnen dinobatkan sebagai raja Ethiopia di tahun 1930, yang bergelar HIM Haile Selassie I, para pengikut ajaran Garvey menganggap Ras Tafari sebagai sosok pembebas itu. Mereka juga menganggap Ethiopia sebagai Zion—tanah damai bak surga—bagi kaum kulit hitam di dalam maupun luar Afrika. Ajaran Garvey pun mewujud menjadi religi baru bernama Rastafari dengan Haile Selassie sebagai sosok yang di-tuhan-kan.
Pada bulan April 1966, karena ancaman pertentangan sosial yang melibatkan kaum Rasta, pemerintah Jamaika mengundang HIM Haile Selassie I untuk berkunjung menjumpai penghayat Rastafari. Dia menyampaikan pesan menyediakan tanah di Ethiopia Selatan untuk repatriasi Rasta. Namun Haile Selassie juga menekankan perlunya Rasta untuk membebaskan Jamaika dari penindasan dan ketidak adilan dan menjadikan Rastafari sebagai jalan hidup, sebelum mereka eksodus ke Ethiopia.
Tahun-tahun setelahnya kredo gerakan tersebut makin tersebar luas, yakni “Bersatunya kemanusiaan adalah pesannya, musik adalah modus operandinya, perdamaian di bumi seperti halnya di surga (Zion) adalah tujuannya, memperjuangkan hak adalah caranya dan melenyapkan segala bentuk penindasan fisik dan mental adalah esensi perjuangannya.”
Ketika Bob Marley menjadi pengikut Rastafari di tahun 1967 dan setahun kemudian disusul kelahiran reggae, maka modus operandi penyebaran ajaran Rastafari pun ditemukan: Reggae!
Kamis, 26 Agustus 2010
Kamis, 12 Agustus 2010
Asal usul bahasa jawa….(NGAPAK)
Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak Ngapak adalah kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah, Indonesia. Beberapa kosakata dan dialeknya juga dipergunakan di Banten utara serta daerah Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).Bahasa Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Banyumasan.
Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan dan Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian Timur.
Kelompok bahasa Jawa bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/Bahasa Sunda) inilah yang sering disebut bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak).
Secara geografis, wilayah Banten utara dan Cirebon-Indramayu memang berada di luar wilayah berbudaya Banyumasan tetapi menurut budayawan Cirebon TD Sudjana, logat bahasanya memang terdengar sangat mirip dengan bahasa Banyumasan. Hal ini menarik untuk dikaji secara historis.
Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran ‘a’ tetap diucapkan ‘a’ bukan ‘o’. Jadi jika di Solo orang makan ‘sego’ (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan ‘sega’. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf ‘k’ yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.
dialek Cirebonan berkaitan erat dengan kultur Jawa-Pantura, yaitu Cirebon, Indrmayu sampai dengan Serang; oleh karenanya bahasa yang mereka gunakan pun memiliki ciri khas dengan icon jawa-pantura.Kosa-kata bahasa jawa-pantura boleh jadi “ada yang sama” dengan bahasa banyumasan; hal itu boleh jadi disebabkan oleh fungsi bahasa komunikasi (jawa, kawi, sanskerta) yang bersifat universal. Akan tetapi sesungguhnya dialek jawa-pantura tetap mempunyai ciri khas yang tidak dapat disamakan dengan dialek banyumasan. Dengan demikian, kita juga sulit mengatakan bahwa wong Cirebon, Indramayu, Serang disebut ngapak-ngapak. Tidak pula untuk dialek Tegal.
Ngapak, tetap lebih pas dialamatkan kepada (khusus) dialek banyumasan. Namun demikian dalam menyikapi siapa yang berbahasa Ngapak, kita tidak bisa membandingkan-lurus dengan area administratif-geografis. Misalnya, tidak seluruh kawasan Kab. Cilacap disebut Ngapak. Cilacap Barat, seperti di beberapa desa di Kecamatan Karang Pucung, Cimanggu, Wanareja, dan Majenang, malah sudah agak “bengkok” ke dialek “kulonan” atau — pinjam istilah dalam seni karawitan, disebut dialek “jaipongan.”
Saya berharap istilah Ngapak tidak dipolitisasi untuk “lawan-kata” dialek “wetanan” (Yogya-Sala) atau dialek “bandhek.” Diskusi ini tentu akan menjadi sangat panjang, apabila para pihak tidak saling menerima keadaan.
Di antara permasalahan yang sering mencuat, adalah bahwa bahasa jawa berasal dari bahasa jawa-kuna, kawi; sebagaimana bahasa tutur orang-orang kuna. Kita bisa berpedoman pada aksen Ha Na Ca Ra Ka,,,
buka Ho No Co Ro Ko…
Bahasa Ngapak juga terncam punah karena (mungkin) akan ditinggalkan oleh warganya. Generasi sekarang (maaf, para kawula muda) nyaris kesulitan cara menulis bahasa jawa dengan aksara latin. Apalagi dengan huruf jawa Ha Na Ca Ra Ka… Disamping itu, pihak Pemerintah (Jawa Tengah) belum memberikan dukungan terhadap kelestarian bahasa Ngapak. Sebagai misal bahasa pengantar di sekolah-sekolah di kawasan Ngapak (mungkin) tidak diwajibkan mengunakan bahasa Ngapak, tetapi malahan menggunakan bahasa bandhek. Nah.
Para sedulur, nuwun sewu, cara nulis basa jawa “sing bener” ya kudu nurut maring aksara jawa Ha Na Ca R Ka. Aksara jawa langka vokal “O” anane “A”.
Jajalen panjenengan tindak maring Yogya, aksara jawa neng papan-papan Nama Jalan, Gedung, mesthi apa anane ora nganggo “taling-tarung.” Contone : Pasar Beringharjo; nulise ya Beringharja. Kota Solo, jan-jane asline ya “SALA.” Jajalen sih dibukak nek ana neng musium Pustakaraja (angger ana).
Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan dan Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian Timur.
Kelompok bahasa Jawa bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/Bahasa Sunda) inilah yang sering disebut bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak).
Secara geografis, wilayah Banten utara dan Cirebon-Indramayu memang berada di luar wilayah berbudaya Banyumasan tetapi menurut budayawan Cirebon TD Sudjana, logat bahasanya memang terdengar sangat mirip dengan bahasa Banyumasan. Hal ini menarik untuk dikaji secara historis.
Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran ‘a’ tetap diucapkan ‘a’ bukan ‘o’. Jadi jika di Solo orang makan ‘sego’ (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan ‘sega’. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf ‘k’ yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.
dialek Cirebonan berkaitan erat dengan kultur Jawa-Pantura, yaitu Cirebon, Indrmayu sampai dengan Serang; oleh karenanya bahasa yang mereka gunakan pun memiliki ciri khas dengan icon jawa-pantura.Kosa-kata bahasa jawa-pantura boleh jadi “ada yang sama” dengan bahasa banyumasan; hal itu boleh jadi disebabkan oleh fungsi bahasa komunikasi (jawa, kawi, sanskerta) yang bersifat universal. Akan tetapi sesungguhnya dialek jawa-pantura tetap mempunyai ciri khas yang tidak dapat disamakan dengan dialek banyumasan. Dengan demikian, kita juga sulit mengatakan bahwa wong Cirebon, Indramayu, Serang disebut ngapak-ngapak. Tidak pula untuk dialek Tegal.
Ngapak, tetap lebih pas dialamatkan kepada (khusus) dialek banyumasan. Namun demikian dalam menyikapi siapa yang berbahasa Ngapak, kita tidak bisa membandingkan-lurus dengan area administratif-geografis. Misalnya, tidak seluruh kawasan Kab. Cilacap disebut Ngapak. Cilacap Barat, seperti di beberapa desa di Kecamatan Karang Pucung, Cimanggu, Wanareja, dan Majenang, malah sudah agak “bengkok” ke dialek “kulonan” atau — pinjam istilah dalam seni karawitan, disebut dialek “jaipongan.”
Saya berharap istilah Ngapak tidak dipolitisasi untuk “lawan-kata” dialek “wetanan” (Yogya-Sala) atau dialek “bandhek.” Diskusi ini tentu akan menjadi sangat panjang, apabila para pihak tidak saling menerima keadaan.
Di antara permasalahan yang sering mencuat, adalah bahwa bahasa jawa berasal dari bahasa jawa-kuna, kawi; sebagaimana bahasa tutur orang-orang kuna. Kita bisa berpedoman pada aksen Ha Na Ca Ra Ka,,,
buka Ho No Co Ro Ko…
Bahasa Ngapak juga terncam punah karena (mungkin) akan ditinggalkan oleh warganya. Generasi sekarang (maaf, para kawula muda) nyaris kesulitan cara menulis bahasa jawa dengan aksara latin. Apalagi dengan huruf jawa Ha Na Ca Ra Ka… Disamping itu, pihak Pemerintah (Jawa Tengah) belum memberikan dukungan terhadap kelestarian bahasa Ngapak. Sebagai misal bahasa pengantar di sekolah-sekolah di kawasan Ngapak (mungkin) tidak diwajibkan mengunakan bahasa Ngapak, tetapi malahan menggunakan bahasa bandhek. Nah.
Para sedulur, nuwun sewu, cara nulis basa jawa “sing bener” ya kudu nurut maring aksara jawa Ha Na Ca R Ka. Aksara jawa langka vokal “O” anane “A”.
Jajalen panjenengan tindak maring Yogya, aksara jawa neng papan-papan Nama Jalan, Gedung, mesthi apa anane ora nganggo “taling-tarung.” Contone : Pasar Beringharjo; nulise ya Beringharja. Kota Solo, jan-jane asline ya “SALA.” Jajalen sih dibukak nek ana neng musium Pustakaraja (angger ana).
Langganan:
Postingan (Atom)